Minggu, 18 Mei 2014

Jakarta dan Ramadhan 1434 H

Halte busway Harmoni tampak penuh sesak sore ini, penuh dengan orang-orang yang pulang kerja dari sekitaran Sudirman-Thamrin, langit mendung, dan suasana terasa dingin, mungkin akan turun hujan lebat lagi, padahal ini bulan Juni, mendadak aku teringat pelajaran ketika masih disekolah dulu, Juni harunya sudah masuk musim kemarau, tapi sepertinya sampai sekarang hujan masih kerap turun menyapa, resiko kebanjiran di Jakarta tetaplah mengintai warga ibu kota ini, lengkaplah sudah dengan kemacetan yang memang menjadi warna dari kota ini. Mungkin ini salah satu resiko dari pemanasan global. Aku melirik jam di tangan kiriku, menunjukkan 17.10, antrian di halte makin mengular. Aku masih saja bersabar diantara antrian jalur busway koridor 1 jurusan Kota-Blok M, desak-desakan mirip antrian sembako, lumrah terjadi ditempat semacam ini. Aku bergeser sejenak dari antrian, berniat menghirup udara sejenak, namun seorang bapak-bapak berusia paruh baya tiba-tiba saja mendorongku terdesak kembali ke himpitan antrian, Sial..!. Sebuah Busway gandeng koridor 1 akhirnya tiba, semua berdesak-desakan, aku yang memang bertubuh kecil ini tak kuasa melawan terdorong kedepan. Uhh..! giliran sudah sampai didepan pintu petugas busway bilang, "Dah penuh, ikut bus selanjutnya aja.."
"Eh itu masih muat, masih bisa masuk tuh.." seorang ibu-ibu berpakaian safari setengah berteriak protes.
Namun pintu busway tetap ditutup, sebagian warga yang dari antre menggerutu kesal, karena tidak bisa masuk. Busway pun lantas melaju, aku hanya bisa menghela nafas panjang, "Sabar-sabar..beginilah Jakarta"kataku dalam hati.
Aku juga tahu busway tadi sudah penuh sesak, dan tidak mungkin dipaksakan lagi, tapi mendengar gerutuan penumpang yang lain, aku jadi kesal, "Sabar dikit emang nggak bisa napa, toh..bentar lagi juga ada.."pikirku.
Akupun mendongak keatas mengamati langit yang tampak gelap, tetiba rintik hujan pun mulai turun, aku mundur sedikit kebelakang agar tidak basah, kuambil sapu tangan disaku dan mengusap mukaku yang sempat basah.
"Kalau hujan pas pulang kerja gini emang bikin susah ya dik..? pasti bikin macet tambah parah" seorang Pekerja berusia kurang lebih 30 tahunan menyapaku
"Iya sih mas..tapi mau gimana lagi, kondisinya kan kayak gini..terima aja," balasku singkat
"Saya sih berharap sistem transportasi di Jakarta jadi lebih baik kedepan.. saya berharap Gubernur yang baru,bisa membenahi tata kota ini, saya sebagai pekerja eight to five, butuh ketepatan dan kenyamanan transportasi publik" ceritanya lagi.
Aku hanya menganggukkan kepala pertanda setuju dengan pendapatnya, walapun orang ini adalah orang kesekian kalinya yang menyampaikan keluhan serupa didepanku.
Tak lama kemudian, Busway yang ditunggu pun datang, akupun segera masuk mencari posisi yang paling nyaman, tak sampai satu menit, busway gandeng itu pun langsung penuh. Alhamdulillah, aku masih kebagian tempat duduk, lumayan bisa duduk setelah setengah jam berdiri di halte tadi.Sementara beberapa penumpang lain terpaksa berdiri. Pemuda tadi juga dapat tempat duduk disebelahku.
"Mas mau pulang kemana?" gantian aku yang bertanya
"Saya sih rumah di bekasi mas, nanti transit di dukuh atas, terus ganti rute busway yang lain, mau ada janjian sama temen dulu, mas sendiri mau balik kemana?"
"Saya sih tinggal di Tangsel mas, cuman ini mau ke Masjid Al Azhar dulu,  ada janjian sama temen juga"
"Ohh.."komentarnya singkat, sebelum diam, tak melanjutkan obrolan.
 Di Hakte-halte busway selanjutnya penumpang silih berganti keluar dan masuk,pastinya mereka kebagian jatah berdiri, melihat beberapa ibu-ibu yang harus berdiri, aku pun berinisiatif untuk memberikan tempat dudukku pada salah satu penumpang.
"Aduh..nggak papa nih mas,"
"Nggak papa bu, saya berdiri aja, lagian deket kok," kataku dengan gaya agak santun, padahal dalam hati aku juga bilang,"Sebenarnya sih kalau ke AL Azhar Kebayoran lumayan bikin pegel juga kalau berdiri.."
Sementara kulihat pemuda disebelahku tadi tidak mengikuti tindakanku, padahal masih banyak penumpang yang memerlukan tempat duduk dibandingkan dia, “Ah sudahlah, ngapain ngurusin orang lain..”.
Akupun menikmati perjalanan padat merayap dari Busway ini menyusuri Jalan Thamrin menuju Sudirman. Ketika di depan halte busway Sarinah, masuklah beberapa rombongan karyawan lagi, perhatianku tersita pada salah seorang penumpang, dia tepat berdiri didepanku, seorang perempuan muda berjilbab rapi warna pink, sekilas aku seperti mengenalnya, aku mencoba mengingat-ingat, mirip salah satu  teman di fakultasku dulu. Kami pun beradu pandang sejenak. Kulihat dia seperti menebak-nebak juga
“Dwi kan ?” ternyata dia bertanya duluan
“Eh..iya.. Suci Matematika kan? Wah..kebetulan kita ketemu disini..lama banget kita nggak ketemu..” kataku setengah gugup, saat dikampus tak sampai lima orang yang memangilku dengan nama depanku, kebanyakan memanggil dengan nama panggilan. AKu dan Suci dulu sempat sama-sama aktif di BEM Fakultas, dia lulus duluan lebih cepat setahun daripada aku.
“Kamu sekarang di Jakarta juga? Sejak kapan?” Tanya Suci
“Belum lama kok.. baru enam bulan, kantorku sih di Tangsel, Cuma lagi main aja kesini, kamu sendiri kerja dimana Ci?”
“Aku kerja di BPPT, tadi sepulang kerja mampir dulu ke Sarinah, nyari barang bentar.. aku tinggal di daerah Fatmawati, ini nanti turun di Blok M, pulang ke rumah nanti bareng Suami, kantor suamiku kan deket Blok M situ..” jelasnya
Pernyataan barusan membuatku tersentak sejenak,
“Kapan kamu nikah Ci? Kok aku nggak dapat kabar.. temen-temen di Semarang juga kagak ada yang cerita.. kamu nggak kirim SMS juga atau undangan gitu?” tanyaku keheranan, wajar saja boleh dibilang semasa dikampus dulu kami memang cukup akrab, jadi aku kaget juga mendapat kabar barusan, sebenarnya antara kaget dan agak kecewa sih, karena aku kehilangan kesempatan,( halah apa sih.., harusnya kan turut bahagia J ),

“Eh maaf nggak sempet ngabarin kamu..kukira kamu masih di Semarang, jadi kemarin undangan kukirim ke Semarang rame-rame atas nama BEM, aku nikah baru empat bulan sih..belum lama juga, Suamiku orang Jakarta sini… dia kerja di Kejaksaan Agung,”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku, mendadak speechless, dan tak tahu mesti ngomong apa. Aku dan Suci dulu seangkatan satu fakultas, namun beda jurusan. Semasa di BEM kami pernah aktif di satu Departemen, cukup sering berdebat tentang berbagai macam urusan advokasi mahasiswa.
“Kamu sendiri kapan mau nyebar undangan ?” Suci melempar pertanyaan cukup menohok buatku. Secara.. dia menjadi orang yang ke 101 yang menanyakan pertanyaan serupa (edisi lebay..ha..ha)
“Tahu nih.. belum ada cewek yang khilaf menerimaku hee..hee” jawabku asal nyeplos aja
“Kamu tuh emang nggak pernah berubah ya.. nyantai abis, eh..! ngomong-ngomong si Adi, mantan ketua BEM kita, dia masih di Semarang?” Suci bertanya lagi
“Masih.. dia belum lulus, masih seneng kelayapan di jalan, kayaknya kemarin dia lagi sibuk demo BBM lagi..” kembali jawabku sekenanya
“Ampun deh.. tu anak betah banget dikampus, kagak bosen apa?”
“Ya namanya aktivis mahasiswa..lulus telat-telat dikit kagak jadi masalah lah..”
“Hush..jangan ngomong gitu.. namanya aktivis itu juga harus seimbang..jangan sampai urusan akademis jadi tumbal karena terlalu asyik aktif dalam organisasi.. citra kita sebagai aktivis bisa buruk di mata dosen-dosen dan birokrasi kampus..” Suci berkata dengan mimik sewot khasnya.
“Iya..iya deh.. aku ngalah, lain kali kuingetin tu anak..”jawabku.
Kami pun lantas asyik ngobrol seputar pekerjaan masing-masing. Dia sempat berdecak kagum saat aku bercerita bahwa sekarang bekerja di salah satu organisasi nirlaba, tak mau menanggalkan idealisme yang dulu sempat dipegang, begitu komentarnya. Suci memang termasuk mahasiswi pandai, lulus cum laude, dan kini bekerja disalah satu organ riset pemerintah. Sesuai dengan jalur akademik yang dulu ditempuhnya, berbeda denganku yang sampai sekarang masih juga kadang merasa salah jurusan. Aha.. beginilah anak-anak MIPA, selalu terampil serba bisa, fleksibel.
Ketika busway sudah mendekati halte masjid agung al azhar, akupun bersiap-siap turun,
“eh ci..! Aku turun disini ya.. lain kali kita kontak-kontakan lagi, nomer HP mu nggak ganti kan, kapan-kapan aku kabari deh.. kali aja mau kumpul sama anak-anak yang lain di Jakarta,”kataku
“Iya..aku masih pake nomer yang lama,”
Busway pun  berhenti di halte busway, aku pun bergegas turun, “Aku duluan ya.., nitip salam buat suamimu”
Suci pun membalas dengan lambaian tangan, “Sama-sama..sampai jumpa lagi Dwi!”.
Busway yang tadi kunaiki pun lantas melaju, sementara aku langsung menyusuri jembatan penyeberangan dari halte menuju area masjid agung al azhar. Aku melihat jam tanganku,Tepat bentar lagi masuk waktu maghrib, aku memang janjian dengan salah seorang temanku dimasjid ini, seorang kenalan disalah satu LSM, dia juga seniorku dikampus dulu, namanya Mas Rizal, sekarang lumayan sering dia nongol di TV dan Radio sebagai narasumber seputar pemberantasan korupsi. Kami janji setelah maghrib bertemu, ada beberapa hal yang ingin kudiskusikan seputar beberapa isu negeri ini beberapa waktu terakhir ini. 
Tepat saat adzan berkumandang, ketika aku menjejakkan kaki dipelataran masjid al azhar ini.  entah mengapa mas Rizal memutuskan mengajak bertemu disini, biasanya juga ngajak ketemuan di cafe atau restoran, tadi pas kutanya, dia cuma bilang sedang pengen kembali ke khittah, aku sempat ketawa mendengarnya, tumben insyaf. Aku pun lantas bergabung dengan para jamaah untuk bersiap melaksanakan sholat maghrib.
Seusai sholat magrib, aku mengambil posisi di teras selatan masjid al azhar, sambil membaca al qur’an dari aplikasi android , aku menunggu kabar dari mas Rizal. Sekitar sepuluh menit kemudian, SMS masuk dari mas Rizal, menanyakan posisi, akupun membalasnya. Tak lama, mas Rizal pun menghampiriku,
“Dah lama disini?” sapa mas Rizal, dia mengenakan kemeja lengan panjang dengan celana jeans biru, dia juga menenteng tas ransel miliknya, penampilan casual, sepertinya habis ada janjian sama orang yang penting.
“Enggak juga mas.. baru pas maghrib tadi tiba, mas rizal sendiri kapan nyampainya?”
“Sejak sore tadi aku memang ada janji sama salah seorang dosen di Universitas Al azhar Indonesia..makanya tadi pagi pas kamu hubungi, aku ajak sekalian aja ketemu disini, gimana ada perkembangan apa?” kata mas Rizal
Aku pun mengeluarkan laptopku dari tas dan mulai membuka beberapa data dilaptop, sementara mas Rizal mengeluarkan Ipad miliknya.
“Bosen juga aku mas mencermati kondisi politik empat bulan terakhir ini, urusan kenaikan BBM yang dipolitisir, sampai festivalisasi kasus suap salah satu partai Islam, media seolah sudah terjebak dalam selera jurnalisme picisan..mengaburkan substansi berita penting dalam selera publik..”kataku dengan nada kesal.
“Ha..ha..ha kamu masih marah ya? Gara-gara salah satu ustadz kebangganmu itu diciduk KPK karena urusan suap daging itu ya?”
“Bukan itu mas.. seperti hasil diskusi kita bulan lalu, aku sudah bilang, nggak peduli siapapun orangnya kalau memang salah ya dihukum..kalau emang bersih ya bebaskan, jangan dibangun opini berlebihan semacam ini, dari persoalan hukum diseret menjadi persoalan susila, kasihan kalau tuduhan itu tidak terbukti, tapi reputasi sudah hancur duluan..”
Mas Rizal tampak tertegun sembari membuka beberapa file di Ipadnya. Dia tampak tengah mengutak atik beberapa file,
“Terus apa maumu? Lihat data-data ini, semua akan tersentak jika melihat data ini aku buka ke publik, aku tahu ini sistematis tapi yang namanya korupsi harus diperangi..jangan bersikap hipokrit gitulah..” Mas Rizal menunjukkan padaku beberapa dokumen berbentuk hasil scan. Berbagai macam kuitansi penerimaan dan bukti transfer, serta beberapa foto catatan meeting.
Aku pun tersulut, adu data macam ini sudah menjadi kebiasaanku ketika bertemu dengan orang macam mas Rizal, aku pun menujukkan sebuah foto dilaptopku.
“Sebenarnya aku Cuma mau menujukkan foto ini mas? Harusnya kau ini berimbang, jangan merasa paling bersih dan paling benar juga,  pada akhirnya aku kecewa ketika KPK akhirnya menjadi sebuah alat rekayasa politik, hal ini kentara betul pada kasus Century, hambalang dan kasus suap impor daging, padahal aku berharap betul pada KPK dan orang-orang sepertimu mas… namun semua itu ternyata palsu… sama-sama SAMPAH!” aku berkata tegas
Mas Rizal mendadak mukanya menjadi merah padam menahan marah melihat foto yang kutunjukkan. Foto yang tak dinyana olehnya akan jatuh padaku. Jika foto ini beredar ke publik, akan menurunkan kredibilitas orang-orang macam mas Rizal yang gemar teriak-teriak soal korupsi.
“Darimana kau dapat foto ini?”
“Nggak penting darimana aku mendapatkannya.. aku hanya mau bilang, jangan merasa paling bersih, aku sadar ketika PKS dihajar dengan isu suap daging ini.. hal ini karena memang ada ruang untuk dijegal, akibat ekses sikap para elite partai.. aku tidak pernah membela mereka secara membabi buta, namun aku juga kesal ketika orang-orang macam Mas Rizal akhirnya berbicara dengan tendensius seolah-olah paling bersih juga..KPK juga sama, tapi opini public akan tetap menang.. korupsi itu musuh bersama, Publik akan membela pendapatmu mas..”Aku berkata panjang lebar
Mas Rizal menarik nafas panjang,
“Apa maumu?”katanya lemas
“Ha..ha kau ini mudah sekali menyerah mas..aku hanya ingin mas bersikap jujur dan proporsional.. dalam konteks kasus PKS ini..aku kecewa, bahkan bisa dibilang sangat kecewa ketika salah satau elite partai ini ditahan…bahkan ada grand design untuk menyeret beberapa elite yang lain ke penjara.., sekali lagi aku sadar hal ini karena ruang-ruang untuk dijegal itu memang ada… apalagi namanya politik itu tidak pernah memberikan ruang pemaafan untuk setiap  kekhilafan yang terjadi…”
“Percuma!! PKS akan tetap dihancurkan… ini sudah menjadi skenario global, operasi intelijen sudah bermain disini, apalagi jika sikap elite partai tidak berubah.. kau tidak akan bisa melawan..”kata Mas rizal
“Terserah mas.. fakta yang lebih buruk daripada kasus suap impor daging ini pun aku juga tahu, termasuk skenario global ini, semua kekuatan politik islam konservatif didunia ini akan dilumpuhkan, Amerika dan Yahudi tak akan senang dengan ini… AKP di Turki dan IM di Mesir akan digoyang juga..tentu dengan isu yang berbeda, tapi aku yakin pasti operasi pelumpuhan akan dilakukan.. Pasti itu” aku melanjutkan argumenku
“Kau mungkin benar.. aku juga mencermati perkembangan di Mesir, kurasa dalam waktu dekat IM akan dilumpuhkan lagi.. tapi di Turki akan lebih sulit, karena secara social ekonomi mereka lebih stabil.. tapi di Indonesia, gerakan PKS yang dulu progresif dalam isu-isu keislaman kini mlempem… mudah sekali dihancurkan dengan isu korupsi, tak perlu sampai mengerahkan massa apalagi operasi militer, asalkan kader-kader PKS macam kamu ini masih solid, aku rasa PKS akan masih mampu bertahan..”Mas Rizal mencoba menyampaikan pendapatnya
“Mas..! asal kau tahu saja..loyalitasku ini bukan pada PKS, tapi pada Dakwah Islam, aku bisa saja meninggalkan PKS saat ini juga jika aku mau… namun selama ini kedekatanku dengan mereka karena aku kenal kader-kader PKS itu orang baik, mereka loyal dan ikhlas dalam berdakwah… aku masih merasa perlu partai macam PKS ini dalam mewarnai dinamika politik Indonesia dengan warna islam, tapi dalam konteks akhir-akhir ini hanya  perlu pembenahan saja..”
“Oke aku sepakat dengan pendapatmu.. Lantas apa maumu dengan menunjukkan foto itu padaku?” Mas Rizal mencoba mengembalikan topik diskusi.
“Sederhana saja.. Mas Rizal ubah gaya penyampaian ketika di ngomong dimedia..jangan sok bersih.. kalau foto ini terlepas ke media..mas rizal bisa kelabakan sendiri nanti..” aku merasa diatas angin
“Ha..ha.. kau ini aneh.. aku tak akan gentar walau kau ancam..”
“AKu tidak mengancam mas… aku hanya ingin kita bersikap fair.. kalau bukan teman dekat, nggak akan mungkin aku mau bicara seperti ini, mendingan kusarankan orang yang menjadi sumber foto ini berbicara langsung dimedia.. tapi bukan itu yang kumau.. tidak ada yang benar-benar bersih selama kita masih menjalankan sikap transaksional.. dari politik sampai hukum semua sama saja…” kataku tegas
Mas Rizal diam sejenak. Raut mukannya serius. AKu rasa sudah memenangkan perdebatan ini.
“Mungkin kau benar..”Mas Rizal berkata dengan agak menghela nafas, “aku sadar mungkin saja yang kulakukan kemarin itu salah… tapi sudahlah, akhiri saja perdebatan ini, lagian minggu depan kita sudah puasa,tak baik buat banyak salah lagi, kuharap kita ada topik lain yang bisa dibicarakan..?
“Ehhmm.. aku sih cukup mas.. gimana kabar mbak Tyas? Nitip salam buat dia ya.. dia kakak kelas yang baik” kataku mencoba menetralisir suasana. Perdebatan tentang politik dan foto tadi memang cukup membuat sisi manusiawi sebagai seorang kawan agak tergerus.
“Baik.. dia masih aktif ngaji… tak kularang..biarkan saja.. boleh jadi kami berbeda pandangan dalam beberapa hal, tapi kalau dirumah.. semua harus saling memahami, mohon doannya juga agar kami segera dikaruniai momongan.. cukup lama juga kami menantikan kehadiran buah hati..”kata mas Rizal
“Amiin.. “jawabku
“Kau sendiri.. kapan ?” Tanya mas Rizal padaku. Berarti menjadi pertanyaan ke 102 buatku tentang hal itu lagi.
“Ah… sudahlah mas.. nanti kalau sudah saatnya pasti kukabari, yang jelas mohon doannya juga..semoga dimudahkan”Jawabku ngeles. Jawaban standar yang memang kusiapkan.
“Aseek… amiin ya rabb, moga Ramadhan tahun ini tak lagi sendiri lah.. he..he”
“Sembarangan aja kau ini mas.. eh aku cabut langsung ya mas?”
“Lho, nggak sekalian isya’ disini aja? Nanggung kan?”
“Nggak papa, ada urusan lain lagi..makasih diskusinya malam ini? Jaga omonganku tadi..” Aku pun mengakhiri obrolan sambil mengajak bersalaman mas Rizal.
“Buru-buru banget sih…” komentar Mas Rizal. Aku hanya tersenyum  kecil, setelah merapikan laptop ke tas aku pun bergegas turun, meninggalkan mas rizal di teras masjid. “Sampai jumpa lagi..Assalamu’alaikum”kataku pamit.
Aku berjalan meninggalkan kompleks Masjid Al Azhar, masjid yang dirintis oleh Buya Hamka ini memang menjadi salah satu tempat bersejarah buat Aktivis Islam di Jakarta. Sejenak kulihat agenda dismartphoneku, ngecek beberapa aktivitas seminggu ke depan. Aku tertegun, hampir lupa bahwa ternyata awal depan aku masih ada agenda janjian lagi dengan seseorang, diawal Ramadhan. Salah satu janji yang harus kupenuhi juga, “Ah… masih ada satu minggu buat mempersiapkan.. siapkan hati yang penting,..”kataku lirih.
AKu berhenti dipinggir jalan raya, menanti taksi yang akan lewat, namun mendadak ada panggilan telepon, Aku kaget,dari pamanku di kampung,
“Assalamu’alaikum.. “kuterima panggilan itu cepat, tidak biasanya aku terima telepon dari kampung soalnya.
“Wa’alaikum salam.. ibumu pengen ngomong nih..!”jawab pamanku dari ujung telepon sana.
Ibu?! Ada apa ini?.. urusan pentingkah, atau ada kabar apa, mendadak cemas, aku memang jarang menghubungi orang rumah sih.
“Hallo.. Gimana kabarnya nak? Sehat kan?” kudengar suara ibuku yang khas
“Sehat bu.. ada apa bu? Kok nelpon segala?” aku berkata pelan, entah kenapa setiap kali mendengar suara ibu lewat telpon gini, aku  mendadak merasa lemas, dan tak mampu berbicara banyak, menahan kangen dan rasa bersalah karena tak pernah memberi kabar.
“Kapan kamu pulang nak.. sudah setengah tahun kamu ndak pernah ngasih kabar..”
Aku terdiam dan tak sanggup berbicara, kurasakan air mataku perlahan meleleh pelan.
******************************************************************************



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Connect Us

Selamat bergabung

Side Ads

Footer Ads

Text Widget

Flexible Home Layout

Tabs

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

views

Follow Us