Episode sebelumnya;
Meyda,Yulisa, Rudi dan Bintang bersama 30 mahasiswa lain tengah
terlibat dalam kemah ukhuwah dilereng gunung merbabu. Karena cuaca buruk, Meyda
yang kondisi fisiknya tengah lemah, mendadak jatuh sakit, dan ketika sedang
outbound tiba-tiba pingsan, Saiful yang tengah berada di puncak merbabu langsung
dikontak untuk turun, untuk membantu membawa Meyda ke Rumah sakit dengan
bantuan tim SAR Boyolali, setelah didiagnosis ternyata Meyda mengalami
pendarahan di otaknya dan harus dirujuk ke Semarang.
Ruang Paviliun Garuda Rumah Sakit
Kariadi lantai 2 tidak begitu Ramai, ketika Ustadz Fahmi tiba di ruangan VVIP 1
tempat Meyda dirawat. Tim Dokter disana sudah melakukan tindakan penanganan
awal pada Meyda setelah mendapatkan izin dari Ustadz Fahmi selaku keluarga
terdekat Meyda yang berada diSemarang. Di sana terdapat Yulisa dan Tari yang senantiasa menemani
sejak dari Selo sampai ke tempat ini. Begitu mendapat kabar dari Saiful yang
masih berada di Boyolali, Ustadz Fahmi langsung mengontak Yulisa untuk
memastikan Meyda mendapat perawatan terbaik sesampainya di Semarang. Ia juga
sudah mengontak orang tua Meyda, terkait kondisi Meyda, dan mereka berencana
akan tiba di Semarang sore ini.
“Gimana kondisi Meyda sekarang?”
tanya Ustadz Fahmi pada Yulisa.
“ Walaupun belum siuman,Sekarang
sudah agak lebih baik, Dokter sudah memberikan penanganan awal, katanya kita
lihat dulu perkembanganya setelah tiga jam, baru nanti akan diputuskan tindakan
selanjutnya” Yulisa menjelaskan.
“Hemm, begitu ya? Meyda memang
keras kepala, ketika dia bilang mau berangkat Kemah Ukhuwah,aku sempat
melarangnya namun ia bersikeras berangkat juga, katanya mau pamitan sekalian ma
teman-teman, soalnya lusa rencananya dia sudah mesti balik ke Jakarta, malah
jadinya sekarang seperti ini” Wajah Ustadz Fahmi nampak lesu.
“Afwan ustadz, apakah selama ini
Meyda memang menyembunyikan penyakitnya dari kami semua? Tadi saya sempat
mendengar pembicaraan dari para Dokter, kata mereka.....”
“Ya betul,”ustadz Fahmi
memotong,”Meyda memang tidak mau menceritakan penyakitnya ini pada
teman-temannya, hanya keluarga yang tahu, Ia mengidap Kanker Otak, gejala itu
diketahui ketika dia lulus SMA, sampai sekarang dia masih rutin melakukan
perawatan, namun ketika kontrol terakhir di Jakarta, Dokter meminta dilakukan
operasi segera, agar tidak semakin parah, makanya dia diminta segera balik oleh
orang tuanya agar lebih bisa diawasi dari dekat terkait perkembangan
penyakitnya, aku harap sekarang belum terlambat..”Ustadz Fahmi mendesah pelan
“Astagfirullah Meyda!kenapa
selama ini engkau Cuma diam saja”Kata Yulisa pelan sambil menatap Meyda yang
terbaring diatas bed. Suasana tampak hening
Tak lama berselang Saiful, Rudi
dan Bintang memasuki ruangan, setelah sebelumnya mengetuk pintu dan mengucap
salam.
“Afwan Ustadz, tadi kami
menyelesaikan urusan kemah ukhuwah dulu, baru bisa kesini sekarang” Saiful
mengawali pembicaraan.
“Ya.saya paham kita ngobrol
diluar aja..” ajak Ustadz Fahmi.
Mereka bertiga mengikuti ajakan
ustadz Fahmi untuk keluar.Lantas Ustadz Fahmi menceritakan semua yang dialami
Meyda pada mereka, mulai dari penyakitnya sampai keinginan orang tuanya yang
meminta Meyda untuk dirawat Jakarta.
“saya ndak habis pikir, apa yang
membuat Meyda bersikeras untuk tetap berangkat ke Gunung Merbabu padahal
kondisi disana pastinya akan menguras staminanya..tapi yang terjadi malah lebih
dari itu...”kata Ustadz Fahmi lantas terdiam.
Rudi mendesah pelan,”seandainya
saya tahu dari awal meyda punya penyakit kanker otak pasti sudah kularang dia
mengikuti kegiatan ini, tapi di malah memilih menyembunyikan semuanya, sialll!
“Istifghfar Rud, Muslim sejati
itu tidak akan berkata seandainya begini atau seandainya begitu, itu pekerjaan
syaitan, semua sudah terjadi, kita lihat saja perkembanganya, semoga kondisi
Meyda lebih baik nanti” kata Ustadz Fahmi mencoba menenangkan Rudi yang nampak
merasa bersalah.
“Afwan ustadz”kata Rudi kemudian.
“Orang tua Meyda kapan kesini Tadz?” tanya Saiful
“Insyaallah sore ini mereka
sampai disini, kau kenapa bengong Tang!” perhatian Ustadz Fahmi teralih pada
bintang yang terduduk lesu dengan pandangan kosong.
“Saya tidak bisa menjalankan
tugas dengan baik dalam kemah ukhuwah ini, wajar jika saya dan Rudi mungkin
yang merasa paling bersalah atas kejadian yang menimpa meyda, semua karena
keteledoran kami..” jawab bintang
“Hush jangan berkata seperti itu,
sudahlah kita berdoa saja semoga meyda lekas baikan” kembali ustadz Fahmi
menyampaikan pesan untuk menenangkan mereka bertiga.
Mereka semua terdiam sejenak,
sibuk dalam dzikir munajat memohon doa pada Rabbi Izzati, Yulisa yang muncul
dari balik pintu kamar mengagetkan mereka,
“Meyda mulai siuman, Tari sedang
ngontak perawat untuk kemari”
“beneran? Saya masuk dulu! Kalian
tunggu disini aja”Kata ustadz fahmi memberikan instruksi, Saiful, Rudi dan
Bintang hanya mengangguk pelan.
Tak lama setelah Ustadz Fahmi
melihat kondisi Meyda, datang perawat dan seorang dokter ahli ke dalam ruangan
itu.
“assalamu’alaikum ustadz,
subhanallah bertemu disini, pasien ini keluarga Ustadz ya, saya nggak ngira
sbelumnya, “kata dokter itu akrab.
“Iya Prof! Dia keponakan saya,
silahkan dicek dulu kondisinya” kata ustadz fahmi
Dokter itu dan perawat itu
kemudian mencek kondisi Meyda beserta tanda-tanda vitalnya.
“cukup bagus untuk kondisinya
bisa sadar dalam waktu cepat, biasanya butuh waktu agak lama untuk pasien lain
dengan diagnosis yang sama, masih terasa sakit dikepala ?” Dokter itu menanyai
Meyda.
Meyda yang belum pulih benar,hanya
mengangguk pelan, sambil menahan nyeri yang dirasakannya.
“Suster coba lihat lagi hasil CT
scan pasien ini”dokter itu meminta pada perawat disebelahnya.
Dokter itu tampak serius
mengamati hasil CT scan ditanganya sambil sesekali mengamati hasil rekam medis
kondisi Meyda.
“Suster tolong pastikan kondisi
oksigen dari tabung lancar, coba cek lagi kondisi tekanan darah pasien,
pastikan semua kondisi stabil, tambahkan juga sedikit anestesi untuk mengurangi
rasa sakitnya”dokter itu terus memberi intruksi.
“Ustadz, ada yang perlu saya bicarakan
diluar, mari!”ajak dokter itu
Ustadz fahmi mengikuti saja
dibelakang dokter itu.
“Ustadz kapan orang tua pasien
ini bisa dihadirkan disini? Kami butuh kepastian untuk penanganan selanjutnya
dan itu mesti dari pertimbangan orang tua, keputusan ada dimereka” tanya dokter
itu.
“Insyaallah sore ini mereka tiba,
emang apa tindakan selanjutnya Prof?
“Kita harus melakukan operasi
segera,stadium sekarang akan semakin parah jika tidak segera dioperasi,
selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi kanker pada umumnya, bagi kami
sekarang nyawa pasien lebih pentiing ! dalam kurang dari 24 jam kami harus
mendapat kepastian, masalah biaya yang cukup besar Ustadz ndak usah terlalu
memikirkan, kami bisa mengkomunikasikan dengan pihak rumah sakit, yang kami
perlukan adalah kepastian kesepakatan dari keluarga, bagaimana?”
“Saya belum bisa mengambil
keputusan, kita tunggu saja orang tua Meyda, Prof”
“Baiklah! sementara kondisi
pasien ini lebih baik, sudah bisa diajak berbicara tapi biarkan dia
beristirahat lebih banyak kalau bisa” Dokter itu masih menjelaskan.
Ustadz Fahmi terdiam
“Ustadz, jika orang tua pasien
sudah datang, kabari saya segera, saya bisa menyediakan tim dokter terbaik,
mereka relasi saya dan beberapa kenal baik dengan anda juga tentunya, termasuk
salah satunya adalah Prof Zaenal, spesialis bedah syaraf yang ada rumah sakit
ini, dan yang lain tentunya, OK, saya tunggu perkembangannya Tadz”kata Dokter
itu sambil menepuk lengan Ustadz Fahmi,”Saya tinggal dulu ke ruangan!” dokter
itu bergegas pergi setelah melempar senyum kecil.
Rudi, Saiful dan Bintang yang
mendengar obrolan tadi tampak tegang, mereka kenal siapa Dokter yang berbicara
tadi, namanya Prof.dr.Syarif Hidayat,PhD, dokter jebolan Oxford University ini
memiliki spesialisasi Neurologi, pernah tercatat sebagai Asisten Direktur
Program Pascasarjana Undip, dokter tadi terkenal cukup hanif karena turut aktif dalam Badan Amalan Islam di RS Kariadi,
itulah yang menyebabkan beliau kenal dekat dengan ustadz Fahmi,karena sering
mengisi kajian di Masjid Asyifa RS Kariadi , ketika Prof.Syarif yang berbicara
dan turun langsung sudah bisa dipastikan kondisi pasien memang kritis dan
membutuhkan prioritas perawatan, Prof.Syarif sempat dicalonkan untuk menjadi
Kepala Rumah Sakit Kariadi namun memilih mundur, karena ingin fokus pada
pembinaan BAI disana, pilihan yang langka dalam kultur FK Undip.
“Ustadz apakah kondisi Meyda
benar-benar kritis?” Saiful tiba-tiba bertanya
“Entahlah..”Ustadz Fahmi tak bisa
berkomentar.
Sayup-sayup terdengar suara adzan
Asar dari masjid,
“Kita sholat asar dulu, semoga
Allah memberikan jalan terbaik” ajak ustadz Fahmi
Mereka semua lalu bergegas menuju
masjid Asyifa untuk menjalankan ibadah sholat asar.
***********************************
Ustadz Fahmi menghampiri Meyda
yang terbaring lemas, pandangan Meyda tertuju pada jendela kamarnya,
“Om tahu apa yang sekarang meyda
pikirkan?” gumam meyda
Ustadz Fahmi hanya menggeleng
pelan,
“Meyda nggak tahu harus bilang
apa, semua yang terjadi sekarang, akibat sikap keras kepala Meyda sendiri,
kondisinya semakin parah, Meyda nggak tahu apakah masih bisa hidup lebih lama
dengan kondisi semacam ini”kali ini air mata nampak menetes dari matanya
“Hush ngomong apa kau ini, sudahhh
perbanyak istigfar dan berdoa,..jangan ngomong yang aneh-aneh ”
Tiba-tiba pintu kamar dibuka, Pak
Abdullah dan Bu Istiqomah, Orang tua Meyda telah sampai didampingi Bu Zulaida
istri Ustadz Fahmi, melihat Meyda Bu Isti langsung menghambur pada putri
kesayanganya itu, dipeluknya putrinya sambil menangis terisak-isak. Ustadz
Fahmi menghampiri Pak Abdullah dan menceritakan semua yang terjadi dari
kejadian di gunung merbabu itu sampai kabar dari Prof.Syarif tadi, Pak Abdullah
langsung terduduk lemas dikursi ruangan itu, genggaman tanganya dipukulkanya
pada meja yang ada disebelahnya sambil bergumam,”Meyda,meyda”
Suasana hening seketika, tak
terkecuali Yulisa dan Tari yang sedari tadi berada di ruangan juga turut
terdiam, walaupun mereka sudah mengirimkan informasi terkini Meyda pada
teman-teman di kampus, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,
kini mereka hanya menjadi penonton saja.
“Om Fahmi!”Meyda memanggil Ustadz
Fahmi,” Om masih ingat tawaran pada Meyda dua bulan lalu?”
Ustadz Fahmi melangkah mendekat
pada Meyda, “Iya Om Ingat, saat itu kau malah marah sama Om kan...? apaaa sekarang
kau berubah pikiran” kata ustadz fahmi penuh selidik.
“tidak ada yang berubah,
hanya....” meyda berkata pelan
“Meyda tidak bisa memastikan
resiko dari penyakit yang sekarang meyda alami, meyda hanya ingin semua menjadi
jelas...”
“Meyda ingin jadi permata yang
sempurna, Meyda ikhlas atas ujian penyakit yang sekarang Meyda derita, termasuk
resiko kedepan jika harus menjalani kemoterapi ataupun lebih buruk dari itu,
Cuma satu hal yang mengganjal...”Meyda tak bisa melanjutkan kata-katanya,
terdiam sejenak
“Sebagai satu-satunya anak-anak
perempuan mama, Meyda sedih belum bisa membahagiakan mama,apalagi meyda anak
sulung, sebellll,”Meyda mencoba untuk tertawa kecil yang dipaksakan.
“Ngomong apa kau mey, jangan
negelantur ah”bu Istiqomah menimpali sambil membelai kepala putrinya itu.
“PA,MA, putuskan saja untuk
operasi meyda disini sekarang, daripada
dibawa balik ke Jakarta, belum tentu sembuh malah tambah parah nanti” meyda
merajuk manja
Mendengar permintaan Meyda, Pak
Abdullah mengangguk sambil menoleh pada Ustadz Fahmi,”Baik mas, aku pastikan
sekarang ke dokter syarif”
“Oh ya om, satu lagi...”kata
Meyda, langkah Ustadz Fahmi tertahan karena ucapan Meyda,”Kenapa Mey?” tanya
Ustadz Fahmi.
“Eh..ndak jadi deh”jawab Meyda.
Ustadz Fahmi tertawa kecil, “Aku
usahakan dia ada disini sebelum kau dioperasi besok”
“Eh Om Fahmi ngomongin apa
sih,...”kata Meyda sebelum mengalihkan pandanganya ke langit-langit kamar.
Melihat tingkah Meyda,Ustadz
Fahmi hanya geleng-geleng,Bu Zulaida juga tersenyum kecil, sekeras apapun watak
Meyda sekarang, dia tetaplah Meyda seperti dulu yang cengengesan dan manja.
Sementara Yulisa dan Tari hanya bengong, bingung,”ngomongin apa sih mereka”kata
mereka dalam hati
Ustadz Fahmi dan Pak Abdullah segera membereskan administrasi untuk
operasi, Prof.Syarif sudah menyepakati dengan timnya bahwa operasi akan
dilaksanakan esok paginya jam 10. Setelah administrasi beres, Ustadz Fahmi
menghampiri Saiful dan Rudi yang masih menunggu di lorong kamar, sementara
Bintang Tadi izin balik karena ada janjian dengan menteenya di Kampus.
“Gimana Tadz, dah beres
administrasinya?” tanya Rudi
“Sudah, tadi kami sudah
berdiskusi dengan tim dokter, Alhamdulillah semua biaya ditanggung dari
perusahaan BUMN Tempat Pak Abdullah Bekerja, masih tanggungan asuransi katanya,
walaupun begitu, dokter tadi menyimpulkan operasi akan memakan waktu agak lama
dan kondisinya fifty fifty,karena kedekatan kami, Meyda menjadi prioritas
duluan“Ustadz Fahmi menjelaskan.
“Siapa aja Tim Dokternya Tadz?”
giliran Saiful yang bertanya.
“Ini lihat aja”Kata ustadz Fahmi
sambil menyerahkan berkas administrasi.
Saiful membaca berkas-berkas
tadi, ia berdecak,Ketua Tim Dokter:Prof.Syukur, spesialis Onkologi, jebolan Amerika
,anggota:Prof.Syarif, ahli Neurologi, Prof.Zaenal spesialis Bedah syaraf, satu-satunya
dokter bedah syaraf di Kariadi , Prof. Mulyadi, sebagai Internis mantan
Pembantu Rektor 1 Undip dan dr.Daniel Alexius,dokter muda jebolan Yale
University.
“Mereka ini orang-orang hebat
disini, dan mereka masih mengatakan fifty-fifty, Robbii”Saiful berdecak sekali
lagi.
“Ane percaya mereka akan berbuat
yang terbaik, apalagi ada Prof.Syarif dan Prof.Zaenal, kau tahu kan beliau dulu
mantan ketua rohis undip di tahun 70-an, Prof.Syarif sendiri yang mengatur
timnya tadi, kalau bukan karena kedekatan kami, sulit untuk mendapatkan tim
dokter dengan orang-orang tadi ”
“iya ustadz reputasi mereka tidak
diragukan lagi” jawab Saiful
“sekarang ane butuh bantuan ente”
Ustadz Fahmi kemudian
bercakap-cakap pelan dengan Saiful,”Betul tadz, saya dari tadi juga kepikiran
hal itu , tidak banyak yang tahu masalah ini soalnya”kata Saiful kemudian.
******************************************
Bandung masih tetap dengan
suasana khasnya, kota kiblat mode indonesia ini memang menjadi salah satu kota
favorit untuk wisata, Empat bulan berada dibandung,aku mulai bisa beadaptasi
dengan dinginya kota bandung, sangat kontras dengan kondisi Semarang, hari-hari
terakhir ini aku banyak disibukan dengan berkas-berkas monev dari kantor, disamping itu kesibukanku mengerjakan skripsi juga
mewarnai hari-hariku. Aku tidak tahu kapan mesti balik ke semarang untuk
menyelesaikan kuliahku, yang jelas mungkin akan banyak hal berbeda ketika aku kembali nanti. Malam ini
dikamar kosku yang berukuran 2 x 3 aku duduk didepan laptopku, mengerjakan olah
data untuk skripsiku, rencana besok pagi aku akan bertemu dengan dosen
pembimbing lapangan dari ITB, mengingat jadwal beliau yang sibuk, kesempatan
bertemu besok tentu tak bisa kulewatkan begitu saja. Besok akan menjadi hari
yang melelahkan, selesai ketemu dosen mesti menyerahkan laporan ke kantor
maksimal jam 12 siang, hufh bakal capek !! Aku lantas meminum segelas kopi susu
yang kuseduh barusan, lumayan! Suplai kafein ini cukup membuatku bertahan dalam
malam panjang untuk begadang. Jam beker di meja menunjukan pukul 18.40, belum
lama lewat dari waktu maghrib. Perhatianku dikejutkan oleh nada dering Hpku,
“siapa yang nelpon” kataku lirih,
aku lantas mengambil Hpku yang kutaruh di atas kasur. Dari Saiful? Tumben, lama
banget dia nggak menghubungiku,
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”jawab Saiful
dari ujung sana.” Gimana kabarnya? Betah banget di Bandung, sampai lupa
Semarang”
“Ah kau bisa aja, ada apa kok
tumben-tumbenan nelpon, kupikir kau dah sibuk sampai lupa memberi kabar kondisi
semarang padaku, ada masalah apa?”tanyaku selidik,
“ hee..heee tau aja,apa kalau aku nelpon mesti kalau ada masalah aja
? haa..haa suudzon terus...bentar-bentar!! bukan aku yang mau berbicara, tapi
ustadz Fahmi...ustadz ni udah nyambung” terdengar perkataan Saiful yang ingin
memberikan telponya pada orang lain,tapi Ustadz Fahmi yang mau berbicara ada
apa ini? Batinku bertanya-tanya,
“Assalamu’alaikum, gimana
kabarnya Ndra?” suara khas Usatdz Fahmi terdengar cukup jelas
“Alhamdulillah, baik Tadz, ada
masalah apa kok sepertinya penting banget? Tanyaku
Ustadz Fahmi terdiam sejenak,
sebelum beliau mulai berbicara,beliau menceritakan padaku berbagai peristiwa,
mulai dari tawaranya sebelum aku berangkat ke Bandung, hingga kejadian di Kemah
Ukhuwah, dan semua itu menjurus pada pembicaraan satu orang, Meyda, kenapa dia
lagi? Pikirku, Ustadz Fahmi terus bercerita, sampai persolan yang baru aku
tahu, Penyakit Kanker Otak yang diidap meyda dan kini dia tengah dalam kondisi
kritis, aku hanya mendesah pelan ketika Ustadz Fahmi menerangkan maksudnya
empat bulan yang lalu, beliau hanya menginginkan Meyda merasa lebih baik,
begitu permintaan dari Orang tua meyda, mereka pun juga tak bisa memastikan
kemungkinan kedepan yang menimpa Meyda, yang jelas mereka menginginkan Meyda
merasa bahagia dan tanpa beban,
Tapi kenapa aku yang dihubungi?
Kenapa aku yang diminta, bukan yang lain, kenapa tawaran itu datang padaku?
Disaat aku menganggap menikah bukanlah prioritasku sekarang,Kenapa harus aku
aku tak henti-henti bertanya dalam hati, aku hanya terdiam untuk beberapa saat
sambil mengusap-usap dahiku yang terasa hangat,
“Andra, ane tahu ini mungkin
naif! Tapi ane hanya menginginkan yang terbaik buat Meyda, Awalnya dua bulan
lalu, ketika Meyda kuberitahu dia juga tidak begitu respek dan berkata kenapa
Andra? Bukankah masih banyak ikhwan lain yang lebih baik dari dia, bahkan
marah-marah, namun percayalah Ndra, ane kenal Meyda sejak kecil, dibalik
keegoisanya...dia tetap butuh seseorang yang bisa menundukan sikap keras
kepalanya, dan asal ente tahu..dia sering mengeluh ke Tantenya, bu zulaida,
kalau dia sering kesal kalau bertemu dengan Andra, katanya ente itu nyebelin,
selalu kalah beragumen dan nurut-nurut aja ma pendapat ente, belum lagi kalau
dikasih kerjaan, katanya sulit untuk menghindar, cenderung taat tanpa reserve”
Aku masih terdiam, aku sudah bisa
mengira-ngira ujung dari pembicaraan ini,
“Ndra, Meyda itu dari dulu terkenal
susah nurut, hanya beberapa orang yang bisa mengendalikan sikapnya, bahkan Pak
Abdullah,ayahnya saja sampai bosan... ane heran kenapa dia selalu membicarakan
betapa sebalnya dia pada diri ente Ndra ? ku minta bu zulaida untuk mengajaknya
berbicara terbuka, dari hasil pembicaraan itu, kutahu dia ada simpati padamu,
aku rasa memang akan menjadi bermasalah jika Meyda terus-terusan seperti itu,
makanya ketika Pak Abdullah meminta bantuan padaku untuk menikahkan Meyda
sesegera mungin, karena pertimbangan penyakitnya bisa merenggut nyawa Meyda
dalam usia muda,yang ada dalam pikiran ane, Cuma ente yang cocok,Ndra...”Ustadz
Faris terdengar mendesah pelan,” Pulanglah Ndra....Meyda akan dioperasi besok
pagi, tim dokter bilang kemungkinannya masih fifty fifty..aku tidak tahu apa
yang terbaik baginya sekarang, ane hanya ingin menyelesaikan tanggungan pada
Orang Tua Meyda dan pada Meyda sendiri...”
“Ane tahu tak bisa memaksa
ente, tapi ingat Ndra ini demi kebaikan
bersama, apalagi setelah kau mengetahui kondisi Meyda, masa depanya belum
jelas,mungkin kau malah kecewa dan berpikir akan...”
“Cukup tadz”aku memotong omongan
ustadz Fahmi,”Afwan jangan diteruskan lagi, ane dah ngerti maksud Ustadz. Tapi
ane tetap perlu berfikir dulu..kalau Ustadz Sudah cukup, ane ingin berbicara
dengan Saiful”
“Baik tafadhol ente pikir
dulu”kata Ustadz Fahmi
Tak lama berselang kudengar Suara
Saiful,”Gimana Ndra? Bisa balik ke semarang?
“Hemm Kau pikir mudah mengambil
putusan,aku mesti pertimbangkan dulu, kenapa pula aku harus menerima Meyda
semudah itu, karena kasihan? Atau Karena ndak enak ma Ustadz Fahmi, Kau tahu
penyakit Meyda itu parah dan ...”
“WHOI BRO! Persetan dengan apa
yang ada dalam pikiranmu sekarang!!!! Dengarkan saranku...”Saiful memotong
omonganku, aku tahu disaat genting semacam ini Mantan Ketua LDK yang satu ini
sering emosional dan dialektikanya kadang-kadang berubah kasar,
”Ini masalah nyawa orang yang
memendam perasaan padamu, namun selalu ditutupi karena tahu batasannya, Meyda
paham betul itu, sikap keras kepala dan acuh tak acuh itu hanya pelarian,
kerena dia tahu dia mengidap penyakit parah, yang sekiranya orang tahu, juga
belum tentu akan respek padanya, apalagi berharap pada orang sepertimu, yang
idealismenya ibarat harga diri, SEKARANG !! buang idealisme itu Ndra, Bahagia
itu belum tentu datang untuk Meyda dan keluarganya, namun paling tidak buatlah
beban keluarga Meyda sedikit berkurang, ingat Ndra berkurang sedikiiiit.....”
Saiful masih terus berbicara.
“YA-YA terus apa maumu?” tanyaku
“Kau tahu Golok Brasilian
Trimontana black series punyaku itu?”
“ya ya, apa hubunganya?” balasku
“Akan kutebaskan padamu kalau
sebelum operasi besok pagi kau tidak ada di Kariadi.ngerti!!!.
Assalamu’laikum”Saiful menutup telpon.sambungan telpon terputus.
Aku tertunduk sambil mengusapkan
kedua telapak tanganku di mukaku, kalimat terakhir Saiful tadi aku tahu
hanyalah Isyarat bahwa dia serius, Golok Trimontana miliknya itu adalah warisan
dari kakaknya yang anggota kepanduan pusat, terakhir kali golok itu dipake saat
mengikuti Mukhoyam KORSAD di Gunung Gede-Pangrango 4 tahun yang lalu, saat itu
salah satu anggota yang diserang oleh anjing liar yang dilepas sebagai ujian,
karena terlalu semangat bertarung, Kakak saiful terlalu keras mengayunkan golok
itu dan justru menebas satu jari kelinking temanya, sejak kejadian itu kakak
saiful shock dan memberikan golok itu pada Saiful, oleh saiful golok itu hanya
dipajang dikamarnya dan senantiasa tersarung, tak pernah dipakai lagi. Saiful
pernah berkata bahwa suatu saat Golok itu akan dia cabut dari sarungnya dan
dipakai lagi, minimal kalau dia dapat intruksi ikut KORSAD juga, jelas aku tak
ingin jadi sasaran pertama kali dari Saiful, aku paham maksudnya bahwa ia
memintaku untuk balik ke semarang malam ini. Tapi dengan padatnya jadwalku esok
hari? Tidak-tidak!! banyak kerjaan yang akan kutinggalkan, belum mesti batalin
janji dengan dosen lapangan, bisa bulan depan baru bisa bertemu lagi! YA Robbii
gimana baiknya? Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. Kulihat jam beker
di meja pukul 19.00.kutarik nafas pelan-pelan, Bismillah!!!
**************************
Aku terbangun setelah tadi
terlelap tertidur sehabis sholat shubuh diatas mobil travel, perjalanan yang
melelahkan. Aku ingat semalam masih di bandung dan pagi ini aku sudah memasuki
kota semarang, disebelah kiri kulihat bunderan kali banteng pertanda aku sudah
dekat dengan tempat tujuanku. Semalam kuputuskan untuk segera mengontak salah
satu travel langgananku biasanya kalau survei,dan ternyata masih ada kuota
tempat untuk perjalanan ke semarang. Jadilah jam 21.00 aku berangkat meluncur
ke Semarang, masih aku sempatkan juga izin pada bosku dan juga dosen pembimbing
lapangan, bahwa kubatalkan semua schedule hari ini, karena ada urusan mendesak
di semarang. Mereka sempat marah-marah, namun setelah kuberitahu bahwa ini terkait
teman dekatku, mereka akhirnya mau mengerti. Mobil Travel menurunkanku di depan pintu masuk Rumah
Sakit Kariadi. Aku segera melangkah masuk ke kompleks Rumah Sakit, Paviliun
Garuda yang menjadi tujuanku terletak di bagian depan Rumah Sakit, sehingga
tidak perlu berjalan jauh. Aku menghubungi Saiful untuk menjemputku diruang tunggu.
Memasuki Ruang Tunggu Kulihat Saiful sudah stand by disana.
“assalamu’alaikum gimana?
perjalanan yang melelahkan pastinya ?” Saiful menyapaku sambil memelukku.
“Kau tahu sendirilah, butuh
pengorbanan lebih untuk bisa sampai disini “ kataku sambil setengah bercanda.
“Dasar Lebay! Kau tahu
trimontanaku sudah menanti diatas, kalau kau tidak datang, pasti aku langsung
berangkat ke bandung siang ini,,hee..he jadi
jangan main-main, dari kemarin aku belum sempat balik ke kos, jadi semua
perkap naik gunung masih kubawa semua”
“Sudah-sudah... ayo ke ruangan
segera..aku ingin bertemu usatdz Fahmi Segera”ajakku
Saiful lantas mengajaku berjalan
kelantai dua, kulihat jam tanganku masih menunjukan jam 7 pagi. Rumah sakit
agak sepi, belum jam besuk, tapi karena dianggap sebagai keluarga tidak masalah
bagiku untuk masuk ke ruangan ini, kelas elit, Ruang VVIP, bagi mahasiswa
sepertiku sangat tidak mungkin memilih kelas ini, boros banget nanti. Aku
memasuki lorong ruangan ini dengan cemas, dari kejauhan kulihat beberapa
Teman-temanku ada disana, ada Rudi, Bintang dan Ustadz Fahmi tentunya, mereka
tengah duduk di kursi tunggu disebelah luar kamar. Melihatku datang, Ustadz
Fahmi lansgung menyalamiku dan memelukku erat-erat, sempat ku dengar sedikit
Isak tangis Ustadz Fahmi,”alhamdulillah syukur..syukur Ndra, ente mau datang,
walaupun terkesan memaksakan” kata Ustadz Fahmi sambil memelukku. Perhatianku
teralih pada Rudi yang menyalamiku kemudian,
“Jangan merasa jadi pahlawan
kesiangan bro, kau mesti ngaca dulu sana sebelum berbangga diri..”kata Rudi
sambil menepuk kepalaku, seolah tahu apa yang ada dikepalaku sekarang,”Siapa
yang mau jadi pahlawan..” aku mencoba ngeles dari tuduhanya. Sementara Bintang
kulihat masih asyik dengan buku bacaanya dan menyalamiku sebentar sambil
berkata,”Barokallah akhi!
Apa pula maksudnya ini.
Ustadz Fahmi lantas mengajakku
masuk keruangan, kulihat ada Yulisa dan Tari disana, rupanya mereka setia menemani Meyda, Ustadz Fahmi
mengenalkanku pada Pak Abdullah, ayah Meyda,
“Ini mas yang namanya Andra yang
sering saya ceritakan” kata Ustadz Fahmi.
Pak Abdullah memelukku erat-erat
sekali, lebih erat dari pelukan ustadz Fahmi, seolah-olah aku dianggapnya
sebagai harapan baginya,
“Alhamdulillah..kau mau datang
sekarang nak, saya sudah ndak ngerti lagi apa yang bisa dilakukan untuk membuat
beban Meyda agak berkurang” air mata pak Abdullah menetes membasahi kemeja yang
aku kenakan,” Sudah-sudah pak, saya bukan siapa-siapa, jangan terlalu berharap
lebih pada saya”aku mencoba melepas pelukan dari Pak Abdullah. Ku lihat Bu
zulaida dan seorang ibu yang kukira pastinya Ibu Meyda menyapaku lirih, “Gimana
kabarnya Ndra? Sehat kan di Bandung, kau tambah gemuk saja disana?” Kata bu
Zulaida
“Ah Bu Zul, bisa saja”jawabku
singkat.
Bu Zulaida lantas mengajaku duduk
disebelah tempat Meyda terbaring, sedari tadi pandanganya hanya dilepaskan ke
jendela luar kamarnya,mengalihkan pandanganya dari seisi ruangan, jika memang
benar apa yang diceritakan Ustadz Fahmi, tak bisa kubayangkan bagaiamana
perasaanya sekarang dengan hadirnya aku disini, Yulisa dan Tari kemudian izin
keluar kamar, seolah mereka tidak ingin tahu apa yang akan dibicarakan dan
terjadi selanjutnya.
“Sudah merasa baikan mbak?”aku
mencoba menyapa untuk mencairkan suasana yang beku dari tadi.
“Sejak kapan kau menyapaku dengan
panggilan Mbak, tumben banget”meyda berbicara dengan nada pelan, seolah tak
acuh dengan kehadiranku.
Pandanganku terarah ke
langit-langit kamar,
”kenapa kau terus-terusan
bersandiwara semacam ini...terus menyembunyikan dan menutup diri atas
masalahmu” kataku kemudian.
Suasana hening sejenak,Kudengar
Meyda terisak-isak,
“ YA Robbi, aku balik ke semarang
sekarang bukan untuk melihat air mata terus-terusan, tidakkah ada yang bisa
memberikan senyum bahagia di kamar ini, ayolah!” aku terus berbicara, smentara keluarga
Meyda yang lain hanya terdiam.
“Ndra, kuminta engaku jujur” kali
ini Meyda berbicara sambil menatapku,”Bagaimana perasaanmu ketika tahu ada
wanita yang menaruh simpati padamu namun dia percaya akan sulit merengkuh
mimpinya karena ada keterbatasan pada dirinya..dan dia terus-terusan diam
selama itu...”
“aku tidak tahu harus berkata
apa.. yang jelas aku sedang ada disini bukan untuk itu, aku disini untuk sebuah
kepastian yang aku sendiri tidak tahu akan kemana ujungnya...”kataku
“Andraaa...”kata Meyda lirih setengah
dipaksa karena kondisinya lemah,”Aku bukan akhwat yang lemah semacam itu, kau
hadir atau tidak hadir disini sekarang tidak menjadi masalah bagiku...sama
sekali,aku siap menjalani operasi ini kapan saja...dimanapun itu? Kuminta
engkau jujur atas pertanyaanku tadi ?”
“Mbak..!” aku berbicara sekali
lagi,jarang bagiku untuk menyapa dengan “Mbak” kecuali pada beberapa orang yang
memang aku hormati walaupun usianya lebih muda sekalipun dariku,
” Tidak penting bagiku kalaupun
ada wanita yang seperti itu, semua hanya akan menyebabkan fitnah saja, bagi
orang itu atau bagi diriku sendiri, termasuk kalau kondisinya yang seperti itu
adalah Kau sendiri, Ustadz Fahmi sudah cerita semua padaku..”
“lantas bagaimana menyudahi
fitnah itu, jika salah satu pihak ada yang dirugikan..”Meyda memotong
pembicaraanku,terlihat butir air mata tipis menetes dari pelupuk matanya, “Kau
tidak akan pernah merasa diuntungkan dengan kondisiku yang semacam ini...iya
kan?
“Mey..!” kali ini aku agak
emosional”Jangan pernah berpikir jika aku harus mencintai seseorang itu, harus
secara transaksional, menimbang untung dan ruginya, bagiku mencintai itu tanpa
syarat dan tanpa tawar, itu yang kupahami sebagai cinta sejati”
“Aku tidak ingin berdebat disini,
aku hanya ingin melepas beban sebelum aku dioperasi Ndra..kau tahu dengan
penyakitku, aku tak punya masa depan yang lebih baik..termasuk jika salah
satunya engkau kuminta memahami perasaanku.. itu semua menjadi tidak beralasan
lagi..”
Meyda terus berkata,kali ini ini
dengan intonasi lebih serius.”Aku tidak ingin terus memelihara dosa
dihatiku,aku tidak inginkan itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah
operasi ini, aku hanya ingin semua permasalahanku sekarang menjadi jelas..”
Aku menggengam erat,tepi bed
tempat tidur, sambil menatap kebawah,aku tidak bisa membuat orang yang sekarang
didepanku ini menjadi terus terbebani, sekilas Bu Zulaida hanya tertunduk
sambil menahan air matanya melihat adegan ini,
“Baiklah jika ini yang
terbaik..”Kataku sebelum terdiam sejenak
” Jam berapa operasinya Bu
?”tanyaku pada Bu Zulaida,
“Jam 10 tapi jam 9 Meyda sudah
harus menjalani persiapan” jawab bu Zulaida
“Saya harus menghubungi orang
tuaku untuk hal yang satu ini, maksimal setengah jam lagi kita buat semua ini
menjadi jelas” aku lantas berdiri dari tempat dudukku hendak berbalik keluar
ruangan.
“Andra apakah kau bisa menerima
kondisiku yang sekarang ini dan apapun yang terjadi ke depan? Tanya Meyda
“Yang lebih buruk dari inipun
akan aku terima, asal kau menjadi tidak terbebani dan merasa bahagia”jawabku
sebelum melangkah keluar
Ironis! Aku harus membuat
keputusan besar dalam hidupku dalam waktu sesingkat ini, sejak Ustadz Fahmi
memberi tawaran padaku empat bulan lalu aku tidak pernah memikirkanya secara
serius, aktivitas di bandung telah menyebabkanku lupa dengan masalah yang satu
ini, namun semua berbalik sekarang.
Aku melangkah keluar dan segera
menelpon orang tuaku, kuceritakan semuanya, hampir setengah jam aku menelepon
meyakinkan orang tuaku, wajar jika tanpa pembicaraan sebelumnya,tiba-tiba aku
meminta izin untuk satu hal ini, Melamar dan melangsungkan akad nikah sekarang
juga, kuyakinkan orang tuaku yang berada di rumah untuk memberikan ridho dan
restunya,
“jika memang itu yeng terbaik
bagi perempuan itu dan bagimu sendiri nak, Ibu tidak bisa menghalangi lagi,
Insyallah Ridho kami menyertaimu nak, tetap luruskan niatmu nak”Ibuku
memberikan konklusi atas pembicaraan panjang ini.
“Baik bu terima kasih atas
restunya, maaf jika harus semacam ini kondisinya,udah ya bu saya harus kembali
menyampaikan pada orang-orang yang ada disini, assalamu’alaikum” kataku menutup
telepon.
Aku menarik nafas panjang,
sebelum berbalik akan memasuki ruangan,
“Dalam buku Blink,think without
thinking, dijelaskan bahwa kadang hanya perlu beberapa detik untuk membuat sebuah
keputusan besar, dan kau kini telah melakukanya, jangan buat dua keluarga besar
ini merasa kecewa” Rudi berbicara sambil bersandar pada pintu kamar bersama
Saiful.
“Satu hal lagi Ndra?Apakah kau
benar-benar menikahi Meyda karena cinta atau kasihan semata?” Tanya Saiful
padaku
“Aku tidak tahu apa itu Cinta....,
aku hanya berharap bahwa kali ini akau akan menikahi bidadari yang akan
menemaniku di Syurga nanti..”jawabku
Saiful memelukku sekali
lagi,begitu juga Rudi dan Bintang,
“Kami bangga akan menjadi saksi
sebuah prasasti cinta abadi sepasang anak adam, yang disatukan dalam keikhlasan
dan pengorbanan “kata Saiful. Rudi lantas membukakan pintu kamar untuku sambil
mempersilahkan masuk,
Kulihat diruangan Ustadz
Fahmi,Pak Abdullah, Bu Zulaida, Bu Istiqomah,Yulisa dan Tari tengah menunggu.
Aku melangkah masuk sambil mengangguk pelan pada Ustadz Fahmi.
“Baik kita sempurnakan ini
segera”kata Ustadz Fahmi.
Dan berlangsunglah akad nikah
pagi itu dalam suasana Dhuha yang diberkahi. Aku menikah dengan mahar sederhana,
sebuah hafalan surat Al Fath yang berarti Kemenangan. Satu jam kemudian Meyda
dipindahkan ruangan untuk persiapan operasi, aku seolah tidak percaya dengan
tim dokter yang akan menangani operasi ini, mereka orang-orang terbaik yang
kukenal di bidangnya, begitu tahu bahwa Meyda telah menikah denganku
barusan.Prof.Syarif menyalamiku dan berkata,”Kau telah membuat keputusan
terbaik Nak, itu akan menjadi suntikan motivasi besar baginya untuk menjalani
operasi ini.
Sesaat sebelum memasuki ruangan
kugenggam tangan Meyda yang terbaring dalam Kasurnya sambil berkata, “Aku tahu
Ummi akan bertahan dan bisa melalui ujian ini,”panggilan baru untuk meyda aku
masih terasa kaku melafazkannya, Meyda tersenyum sambil berkata,”Terima kasih
untuk semua ini, Semoga Allah memberkahi kita semua.
Dan dengan berat hati kulepas
Meyda untuk menjalani operasi ini, Saiful dan Rudi mengelus-elus pundaku sambil
menghiburku dan berkata,”Kali ini kau benar-benar pahlawan, Ndra.”
Aku terdiam sambil berdoa semoga
Allah memberikan yang terbaik.
*****************************************************
Angin musim panas yang kering
menerpa kulitku
Hari ini tepat dua tahun sejak
aku melangsungkan akad nikah dengan Meyda. Kutatap bangunan tinggi menjulang
yang ada 500 meter didepanku, Burj Al Khalifa, bangunan tertinggi di dunia itu
kokoh menantang langit dan memayungi Dubai
ini, Ya ! sekarang aku berada di negara Uni Emirat Arab, bekerja di perusahaan
pertambangan minyak terbesar di Negara ini. Kulihat jam tangan digital
ditanganku menunjukan suhu 40 derajat celcius, panasnya jauh mengalahkan kota Semarang.
Sudah setahun aku berada disini
bekerja dan menjalankan tugas belajar dari MASDAR INSTITUTE Scholarship,
beasiswa untuk program master di salah satu Universitas lokal disini,masih sama
konsentrasi Geologi Terapan, tak jauh beda dengan S1 ku dulu di Undip. Aku
disini barusan menceritakan semua kisah hidupku pada salah seorang kawan
bekerjaku, Ahmed Al Hudhaibi, asalnya dari Mesir. Kami ngobrol santai disalah
satu Cafe pinggiran kota Dubai ini.
“Jadi berapa lama kau menjalani
hidup bersama Istrimu itu..? tanya Ahmed.
“6 bulan setelah operasi itu,
Rumah Tangga yang singkat, Operasi itu berhasil, tapi Istriku mesti menjalani
kemoterapi lanjutan, namun Allah berkehendak memintanya kembali terlebih
dahulu, saat itu aku barusan saja menyelesaikan sidang skripsi.” Aku terdiam
mengenang masa 6 bulan yang singkat itu.
“Kau tidak ingin menikah lagi
sekarang?”Ahmed masih bertanya.
“bagaimana aku bisa menikah lagi
sementara hatiku masih senantiasa menyebutnya dan merindukanya, aku hanya bisa
berdoa semoga kami dihimpunkan kembali lagi di Syurga nanti.”jawabku
“Amin!!... Ya Akhii, kaalu boleh
bertanya satu hal, apakah sebelum menikahinya dan mendapat tawaran dari Ustadz
Fahmi kau memang mencintai calon Istrimu itu?
“Kalau boleh jujur akhi,
sebenarnya iya, aku pergi ke bandung saat itu hanya pelarian agar aku bisa
melupakan dia dan membersihkan penyakit hati yang menderaku, namun Allah
menjawabnya dengan lebih elegan, sekali lagi aku sampaikan..! cinta sejati itu
tanpa syarat dan tanpa tawar, aku ikhlas menjalani semua ini sampai sekarang.”
“subhanallah, aku akan ceritakan
pada istri dan anak-anakku kisahmu itu, sungguh pengalaman yang berkesan”
“Tafadhol”
Aku kembali menatap puncak
bangunan Burj AL Khalifa jauh diatas sana, ANDROMEDA aku mengenang nama itu,
Andromeda adalah rencana nama anak kami yang pertama.Nama yang kami
siapkan,gabungan dari nama kami berdua,Setelah operasi berhasil Meyda
bersikeras untuk menjadi Ibu, meskipun kondisinya lemah semacam itu,namun Allah
berkehendak lain, mereka berdua telah mendahuluiku menghadap-Nya, Meyda tengah
mengandung 3 bulan ketika meninggal dunia.sementara aku masih terus merenungi
jalan hidupku yang berliku ini, dengan lirih aku berdoa, ALLAHUMMA FIGRLAHA WA’FU’ANHA.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar